“Uang Siluman” Kapan Ada Tersangka?

lintasra | 14 September 2025, 01:30 am | 57 views

 

Oleh : Arif Kurniadin/Ketua KOMPAK NTB.

MATARAM, LINTASRAKYATNTB.COM – Kejaksaan Tinggi bukan lembaga kompromi. Ia bukan panggung opera dengan adegan dramatik yang bisa ditunda sesuai selera, melainkan institusi hukum yang seharusnya menghadirkan kepastian bagi rakyat. Namun, dalam kasus dugaan gratifikasi beraroma korupsi yang kini bergulir di NTB, publik justru menyaksikan ironi, bukti sudah di depan mata, pengembalian uang haram sudah dilakukan oleh sejumlah pihak, namun dicurigai tidak akan ditetapkan.

*Bukti Terang, Langkah Redup*

Publik sudah mafhum, beberapa nama yang diduga terlibat sebut saja inisial MH, HW, dan lain-lain telah mengembalikan “uang siluman”. Ada pula yang dengan inisiatif pribadi datang sebelum dipanggil untuk menyerahkan kembali uang tersebut. Dalam konstruksi hukum pidana, pengembalian uang bukanlah alasan pemaaf. Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 jo. UU 20/2001) jelas menyebutkan bahwa “pengembalian kerugian negara tidak menghapuskan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi.” Dengan demikian, fakta pengembalian justru menjadi bukti otentik bahwa tindak pidana itu pernah terjadi.

Namun, hingga kini Kejati NTB seolah menunggu “angin desakan rakyat berhenti”. Kasus ini berjalan di tempat, seakan-akan hukum bisa diperlambat sesuai kalkulasi politik. Padahal, sebagaimana dikatakan Lawrence Friedman (1975) dalam The Legal System, A Social Science Perspective, tegaknya hukum tidak hanya soal norma tertulis, tetapi juga soal institusi yang berani mengeksekusi aturan secara konsisten.

*Keadilan yang Ditunda adalah Keadilan yang Dikhianati*

Konsep klasik justice delayed is justice denied menemukan relevansinya di sini. Ketika proses hukum ditunda, publik bukan hanya kehilangan kepercayaan pada institusi, tetapi juga merasa ditinggalkan oleh negara. Korupsi, sebagaimana ditulis Susan Rose-Ackerman (1999) dalam Corruption and Government, selalu menimbulkan eksternalitas negatif ia menggerogoti sumber daya publik, memperlebar kesenjangan sosial, dan memperdalam ketidakpercayaan rakyat pada demokrasi.

Kasus “uang siluman” ini bukan sekadar persoalan uang yang berpindah tangan, melainkan cermin dari konspirasi elite yang menyebabkan kerugian negara. Dalam perspektif teori state capture corruption (Hellman & Kaufmann, 2001), perilaku elit politik dan birokrat yang mempermainkan kebijakan demi keuntungan pribadi menciptakan kondisi di mana negara justru disandera oleh kepentingan sempit.

*Mengulang Luka Lama?*

Publik masih mengingat bagaimana kasus “Titik Temu” yang sempat menyedot perhatian akhirnya tenggelam tanpa kejelasan. Kini, masyarakat mulai khawatir pola yang sama akan terulang. Padahal, setiap kali Kejati gagal menuntaskan perkara besar, kredibilitas hukum di NTB mengalami erosi. Hukum yang tidak ditegakkan sama artinya dengan memberi karpet merah bagi korupsi berikutnya.

*Kejati Bukan ATM Politik*

Kritik tajam layak diarahkan, jangan sampai Kejati menjelma menjadi “ATM utama” bagi pihak-pihak yang mencari perlindungan hukum dengan cara transaksional. Institusi hukum, jika tunduk pada kalkulasi pragmatis, kehilangan raison d’être-nya. Di titik inilah, publik berhak menuntut. “kapan ada tersangka”?

*Kejaksaan Tinggi NTB harus sadar bahwa kasus ini bukan sekadar soal nama-nama yang terseret, tetapi soal masa depan kepercayaan publik terhadap institusi hukum. Rakyat tidak butuh janji, rakyat menunggu tindakan. Bukti sudah ada, konstruksi hukum sudah jelas, dan undang-undang tidak memberi ruang untuk kompromi.*

*Jika Kejati tetap diam, maka hukum akan berubah menjadi komedi gelap yang ditampilkan di depan rakyat, tetapi diskenariokan di belakang layar. Dan saat itu terjadi, kita benar-benar hidup di negeri “uang siluman”.*

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Berita Terkait